Kesuksesan itu merupakan buah dari pengetahuan dan perjuangan seseorang

Kamis, 10 Januari 2013

KEPUASAN KERJA




Pengertian Kepuasan Kerja

            Locke mengatakan kepuasan kerja ialah “the appraisal of one’s job as attaining or allowing the attainment of one’s important job values, providing these values are congruent with or help fulfill one’s basic needs (Munandar,  2008 ).” Secara singkat dikatakan bahwa tenaga kerja yang puas dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya.

            Howell dan Dipboye(1986) dalam Munandar (2008) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya.

            Wexley &Yulk (1977) dalam As’ad ( 2008 ) kepuasan kerja ialah “is the way an employee feels about his her job”. Maksudnya adalah kepuasan kerja sebagai “perasaan seseorang terhadap pekerjaan”. Kemudian oleh Vroom (1964) dikatakan sebagai “refleksi dari job attitude yang bernilai positif”.

            Kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. (Hoppeck dalam As’ad, 2008)

            Tiffin (1958) berpendapat bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara peminpin dengan sesama karyawan. Kemudian Blum (1956) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan social individual di luar kerja (As’ad, 2008).

            Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan dan sikap positif karyawan terhadap pekerjaannya, karena apa yang telah dicapai sesuai dengan harapan karyawan, serta adanya penyesuaian diri karyawan dengan lingkungan kerja. Dari berbagai definisi para tokoh, saya akan menggunakan definisi kepuasan kerja dari Tiffin, karena definisi ini yang paling mendekati dan sesuai dengan penelitian saya.


Teori-Teori Kepuasan Kerja

Discrepancy Theory

      Porter (1961) dalam As’ad (2008) mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataannya yang dirasakan (difference between how much of something there should be and how much there “is now”. Locke (1989) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung kepada discrepancy antara should be (ecpectation, need, atau values) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan. Dengan demikian, orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Bila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy positif. Sebaiknya semakin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan. 

Equity Theory

        Prinsip teori ini adalah bahwa orag akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Elemen-elemen equity ada tiga yaitu  (Wexley & Yulk (1977) dalam As’ad (2008)):

·         Input

Input  adalah “is anything of value that an amployee perceives that the contributes to his her job.” Artinya ialah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap peerjaan. Dalam hal ini misalnya education, experience, skills, amount of effort expected, number of hours worked, and personal tools dan sebagainya.

·         Out comes

Out comes ialah “is anything of value that the employee perceives he obtains from the job.”  Artinya adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari pekerjaannya seperti  misalnya pay, fringe benefits, status symbols, recognition, opportunity for achievement or self-expression.

·         Comparison persons

Comparisoan persons ialah kepada orang lain dengan siapa karyawan membandingkan rasio input-out comes yang dimilikinya. Comparison persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau. Menurut teori ini setiap karyawan akan membandingkan ratio-out comes dirinya dengan ratio-out comes orang lain. Bila perbandingan itu dianggapnya cukup adil (equity), maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan (over compensation in-equity), bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak (misalnya pada orang yang moralis). Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation in-equity), akan timbul ketidakpuasan (wexley & Yukl, 1977).

        
      Two Factor Theory 
              Prinsip teori ini ialah bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda (Herzberg, 1966). Artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herzberg  (1959). Berdasarkan atas hasil penelitian beliau, membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok satisfiers atau motivator dan kelompok dissatisfies atau hygiene factors. Satisfiers (motivator) ialah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari “Achievement, recognition, work it self, responsibility and advancement. Dikatakannya bahwa hadirnya factor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya factor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfiers (hygiene factors) ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari company policy and administration, supervision technical, salary, interpersonal relations, working condition, job security andstatus (Wexley& Jukl, 1977). Perbaikan terhadap kondisi atas situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja. Jadi, perbaikan salary dan working conditions tidak akan menimbulkan kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidakpuasan.


Faktor-Faktor Kepuasan Kerja

            Harold E. Burt (dalam As’ad , 2008) mengemukakan pendapatnya tentang factor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja. Factor- factor tersebut adalah :

  •        Factor hubungan antar karyawan, antara lain :

  1.      Hubungan antara manager dengan karyawan
  2.      Factor fisis dan kondisi kerja 
  3.      Hubungan social di antara karyawan
  4.      Sugesti dari teman sekerja 
  5.      Emosi dan situasi kerja
  • Factor individual, yaitu yang berhubungan dengan :

  1.      Sikap orang terhadap pekerjaannya 
  2.      Umur orang sewaktu bekerja 
  3.      Jenis kelamin (pernah dilakukan penelitian oleh Lawler, 1973, dikutip oleh Wexley & Yukl, 1979)
  • Factor-faktor luar (extern), yang berhubungan dengan :

  1.      Keadaan keluarga karyawan 
  2.      Rekreasi 
  3.      Pendidikan (training, up grading dan sebagainya)

      
      Menurut Sagala dan Rivai (2009), factor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah :
  • Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang actual dan sebagai control terhadap    pekerjaan
  •  Supervise
  • Organisasi dan manjemen
  • Kesempatan untuk maju
  • Gaji dan keuntungan dalam financial lainnya seperti adanya insentif
  • Rekan kerja 
  • Kondisi pekerjaan

            Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Gilmer (1966) dalam As’ad (2008)  sebagai berikut : 
  1. Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja. 
  2. Keamanan kerja. Factor ini serong disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja. 
  3. Gaji. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan dan jarang orang mengekspresikan kepuasna kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya. 
  4. Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Factor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan. 
  5. Pengawasan (supervisi). Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figure ayah dan sekaligus atasannya. Supervise yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over. 
  6. Factor intrinsic dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 
  7. Kondisi kerja. Termasuk disini adalah kondisi tempat, vertical, penyinaran, kantin, dan tempat parkir. 
  8. Aspek social dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai factor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja. 
  9. Komunikasi. Komunikasi yang lancer antar karyawna dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja. 
  10. Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pension, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa cemas.

Dampak Dari Kepuasan Dan Ketidakpuasan Kerja
 Dampak Terhadap Produktivitas

        Terdapat pandangan bahwa kepuasan kerja merupakan akibat, bukan sebab dari produktivitas. Lawler dan Porter (dalam Munandar, 2001) menjelaskan bahwa produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran intrinsic (misalnya perasaan telah mencapai sesuatu) dan ganjaran ekstrinsik (misalnya gaji) yang diterima secara adil dan wajar diasosiasikan sebagai unjuk kerja yang unggul. Sebaliknya, jika tenaga kerja tidak mempersepsikan ganjaran instrinsik dan ekstrinsik berasosiasi terhadap unjuk kerja, maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berhubungan dengan kenaikan dalam kepuasan kerja (dalam Munandar, 2001)
Dampak Terhadap Kehadiran (Absenteisme) Dan Keluarnya Tenaga Kerja (Turnover)

            Porter dan Steers (dalam Munandar, 2008) menyimpulkan bahwa ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jawaban yang berbeda secara kualitatif, ketidakhadiran bersifat lebih spontan dan tidak mencerminkan ketidakpuasan kerja, sebaliknya berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang besar, maka lebih besar kemungkinannya memiliki hubungan terhadap ketidakpuasan kerja.

      Menurut Robbins (dalam Munandar, 2001) ketidakpuasan tenaga kerja dapat diungkapkan dengan empat cara.

  1.    Keluar (exit) merupakan ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan yaitu, mencari pekerjaan lain. 
  2.     Menyuarakan (voice) merupakan ketidakpuasan yang diungkapkan melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi seperti, memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya. 
  3.      Mengabaikan (Neglect) merupakan ketidakpuasan yang diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, seperti terlambat. 
  4.      Kesetiaan (loyality) merupakan ketidakpuasan yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik.
                                                                                           

Dampak Terhadap Kesehatan
        Terdapat bukti bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental. Tingkat dari kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, sehingga penngkatan dari yag satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang atu mempunyai akibat yang negative juga pada yang lain (dalam Munandar, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar