BAB I
PENDAHULUAN
Tidak semua kehamilan diharapkan kehadirannya. Setiap tahunnya, dari 175 juta kehamilan yang terjadi di dunia terdapat sekitar 75 juta perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan (Sadik 1997). Banyak hal yang menyebabkan seorang perempuan tidak menginginkan kehamilannya, antara lain karena perkosaan, kehamilan yang terlanjur datang pada saat yang belum diharapkan, janin dalam kandungan menderita cacat berat, kehamilan di luar nikah, gagal KB, dan sebagainya. Ketika seorang perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD), diantara jalan keluar yang ditempuh adalah melakukan upaya aborsi, baik yang dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain.
Banyak diantaranya yang memutuskan untuk
mengakhiri kehamilannya dengan mencari pertolongan yang tidak aman sehingga
mereka mengalami komplikasi serius atau kematian karena ditangani oleh orang
yang tidak kompeten atau dengan peralatan yang tidak memenuhi standar. Keputusan
untuk melakukan aborsi bukan merupakan pilihan yang mudah. Banyak perempuan
harus berperang melawan perasaan dan kepercayaannya mengenai nilai hidup
seorang calon manusia yang dikandungnya, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Belum lagi penilaian moral dari orang-orang sekitarnya bila sampai tindakannya
ini diketahui. Hanya orang-orang yang mampu berempati yang bisa merasakan
betapa perempuan berada dalam posisi yang sulit dan menderita ketika harus
memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya.
Aborsi sering kali ditafsirkan sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 28 minggu (WHO 2000). Dengan perkembangan tehnologi kedokteran yang sedemikian pesatnya, sesungguhnya perempuan tidak harus mengalami kesakitan apalagi kematian karena aborsi karena sudah dapat diselenggarakan secara sangat aman dengan menggunakan tehnologi yang sangat sederhana. Bahkan dikatakan bahwa aborsi oleh tenaga profesional di tempat yang memenuhi standar, tingkat keamanannya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan bila melanjutkan kehamilan hingga persalinan.
Aborsi sering kali ditafsirkan sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 28 minggu (WHO 2000). Dengan perkembangan tehnologi kedokteran yang sedemikian pesatnya, sesungguhnya perempuan tidak harus mengalami kesakitan apalagi kematian karena aborsi karena sudah dapat diselenggarakan secara sangat aman dengan menggunakan tehnologi yang sangat sederhana. Bahkan dikatakan bahwa aborsi oleh tenaga profesional di tempat yang memenuhi standar, tingkat keamanannya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan bila melanjutkan kehamilan hingga persalinan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN STRES
Lazarus
(dalam Davis 1999) mendefinisikan stres sebagai suatu gejala umum yang dialami
individu dan bercirikan adanya pengalaman yang mencemaskan atau menegangkan
secara intensif dan relatif menekan yang muncul karena keadaan atau situasi
eksternal yang terus memaksa individu memenuhi tuntutan yang tidak biasa pada
dirinya.
Menurut
Sarafino (1998) stres dapat didefinisikan sebagai reaksi individu terhadap
stimulus lingkungan yang merupakan penyebab terjadinya stres (stressor).
Sementara
itu Copper & Payne (1991) menjelaskan stres sebagai suatu stimulus atau
rangsangan yang membuat seseorang melakukan upaya untuk meredam atau
mengalihkan tuntutan-tuntutan yang dihadapinya, dengan kata lain stres akan
membuat seseorang melakukan coping atau usaha untuk mengatasi masalah yang
dihadapi dengan setepat-tepatnya sesuai dengan yang dikehendakinya.
2.2 PENGERTIAN ABORSI
Menggugurkan
kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti
pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari
janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam aborsi, yaitu:
1.
Aborsi Spontan atau Alamiah (keguguran, miscarriage) merupakan mekanisme alamiah yang
menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu. Penyebabnya
dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-sebab lain yang
pada umumnya berhubungan dengan kelainan pada sistem reproduksi
2.
Aborsi Buatan (pengguguran, aborsi, abortus provocatus) merupakan suatu
upaya yang disengaja untuk menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28
minggu, dimana janin (hasil konsepsi) yang dikeluarkan tidak bisa bertahan
hidup di dunia luar.
Jika
ditinjau dari aspek hukum, abortus buatan dapat digolongkan ke dalam dua
golongan :
Abortus
buatan legal yaitu pengguguran kandungan yang
dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang dan
dilakukan berdasarkan indikasi medik. Populer juga disebut dengan abortus
provocatus therapcutius, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya
adalah untuk menyelamatkan nyawa atau menyembuhkan si ibu. Abortus buatan legal dilakukan dengan
cara tindakan operatif (paling sering dengan cara kuretase, aspirasi vakum)
atau dengan cara medikal. Dalam Deklarasi Oslo (1970) dan UU No. 23 tahun 1992
tentang Kesehatan, mengenai abortus buatan legal terdapat ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
·
Abortus buatan legal hanya dilakukan
sebagai suatu tindakan terapeutik yang keputusannya disetujui secara tertulis
oleh 2 orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka dan
prosedur operasionalnya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten diinstalasi
yang diakui suatu otoritas yang sah, dengan syarat tindakan tersebut disetujui
oleh ibu hamil bersangkutan, suami, atau keluarga.Jika dokter yang melaksanakan
tindakan tersebut tnerasa bahwa hati nuraninya tidak membenarkan ia melakukan
pengguguran itu, ia berhak mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan
tindakan medik itu kepada teman sejawat lain yang kompeten.
·
Yang dimaksud dengan indikasi medis
dalam abortus buatan legal adalah suatu kondisi yang benar-benar menghaniskan
diambil tindakan tersebut sebab tanpa tindakan tersebut dapat membahayakan jiwa
ibu atau adanya ancaman gangguan fisik, mental dan psikososial jika kehamilan
dilanjutkan, atau risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan
menderita cacat mental, atau cacat fisik yang berat.
·
Hak utama untuk memberikan persetujuan
tindakan medik adalah pada ibu hamil yang bersangkutan, namun pada keadaan
tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya dapat diminta pada
suaminya/wali yang sah.
Abortus
buatan illegal yaitu pengguguran kandungan yang
tujuannya selain dari pada untuk menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu,
dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan
cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang dan dilakukan berdasarkan indikasi
nonmedik. Aborsi biasanya dengan cara-cara seperti memijit-mijit perut bagian
bawah, memasukkan benda asing atau jenis tumbuh-tumbuhan atau rumput-rumputan
ke dalam leher rahim, dan pemakaian bahan-bahan kimia yang dimasukkan ke dalam
jalan lahir sehingga sering terjadi perdarahan dan infeksi yang berat, bahkan
dapat berakibat fatal. Berlandaskan Lafal Sumpah Hippokrates, Lafal Sumpah
Dokter Indonesia dan International Code of Medical Ethics maupun KODEKI,
setiap dokter wajib menghormati dan melindungi makhluk hidup insani. Karena
itu, aborsi berdasarkan indikasi nonmedik adalah tidak etis. Abortus golongan
ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis, karena di
dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.
Alasan-Alasan
Dilakukannya Aborsi Oleh Seorang Wanita Hamil Baik Yang Telah Menikah Maupun
Yang Belum Menikah Adalah:
1.
Tidak ingin memiliki anak karena
khawatir mengganggu karir, sekolah atau tanggung jawab lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
4. Masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah)
dan aib keluarga
5.
Sudah memiliki banyak anak.
Data ini juga didukung oleh studi dari
Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan bahwa :
·
1% kasus aborsi karena perkosaan atau
incest (hubungan intim satu darah)
·
3% karena membahayakan nyawa calon ibu
·
3% karena janin akan bertumbuh dengan
cacat tubuh yang serius.
·
93% kasus aborsi adalah karena
alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri, termasuk takut
tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu atau gengsi.
Ada 2 macam tindakan aborsi, yaitu:
1.
Aborsi dilakukan sendiri
2.
Aborsi dilakukan orang lain
Aborsi
yang dilakukan seorang dokter atau bidan pada umumnya dilakukan dalam 5
tahapan, yaitu:
1.
Bayi dibunuh dengan cara ditusuk atau
diremukkan didalam kandungan
2. Bayi dipotong-potong tubuhnya agar mudah dikeluarkan
3. Potongan bayi dikeluarkan satu persatu dari kandungan
4. Potongan-potongan disusun kembali untuk memastikan lengkap
dan tidak tersisa
5.
Potongan-potongan bayi kemudian dibuang
ke tempat sampah sungai, dikubur di tanah kosong, atau dibakar di tungku
Perkiraan
jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan
Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi
per 100 kehamilan. Saifuddin (1979 di dalam Pradono dkk 2001) memperkirakan
sekitar 2,3 juta. Sedangkan sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian
aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo dkk 2001).
Isu
aborsi sering kali dikaitkan dengan prilaku seks bebas di kalangan remaja.
Ternyata banyak penelitian membuktikan dugaan tersebut tidak sepenuhnya benar.
Penelitian mengenai aborsi yang diselenggarakan pada periode 70-an menemukan
bahwa ternyata pelayanan aborsi juga dicari oleh perempuan menikah yang tidak
menginginkan tambahanan anak tetapi tidak mengunakan kontrasepsi atau mengalami
kegagaln kontrasepsi (Affandi, Herdjan dan Darmabrata, 1979; Sastrawinata,
Agoestina dan Siagian, 1976). Pola ini tidak berubah di era 90-an, seperti
ditunjukkan pada sebuah penelitian di Bali di mana 71% perempuan yang melakukan
aborsi berstatus menikah (Dewi 1997:33). Demikian pula penelitian yang
diselenggarakan oleh Population Council pada tahun 1996-1997 di klinik swasta
dan klinik pemerintah menunjukkan 98,8% klien merupakan perempuan menikah dan
telah punya 1-2 orang anak (Herdayati 1998).
Tingginya
kasus aborsi pada perempuan menikah dengan jumlah paritas tinggi ini,
memberikan pemikiran mengenai rendahnya pemakaian kontrasepsi dan rendahnya
kualitas pelayanan kontrasepsi. Hasil SDKI 1997menunjukkan masih terdapat 9%
pasangan usia subur (PUS) yang tidak ingin hamil tetapi tidak memakai
kontrasepsi (BPS, BKKBN, Depkes, DHS 1998). Mereka digolongkan sebagai kelompok
unmet need. Walaupun kecil, kehamilan juga bisa terjadi pada mereka yang
menggunakan kontrasepsi karena belum ada metode keluarga berencana (KB) yang
secara sempurna mampu melindungi akseptor dari kehamilan, atau bisa juga karena
akseptor tidak menggunakannya secara konsisten atau tepat. Kegagalan KB terutama
terjadi pada mereka yang menggunakan kontrasepsi alami (pantang berkala dan
senggama terputus).
Ada
bermacam-macam cara perempuan untuk menghentikan kehamilannya, dari mulai
melakukan upaya sendiri hingga minta bantuan tenaga lain. Minum jamu peluntur
atau jamu telat bulan merupakan salah satu upaya sendiri yang umum dilakukan
oleh perempuan yang mengalami KTD dan telah dikenal sejak lama. Cara lainnya
termasuk mengkonsumsi makanan/minuman lainnya yang dipercaya dapat memancing
keluarnya janin dari kandungannya (seperti nenas muda, bir hitam, dan
sebagainya) atau melakukan aktifitas tertentu (misalnya loncat-loncat)
(Emiyanti dkk 1997:13). Bila upaya ini tidak berhasil, barulah mereka mencari
pertolongan kepada tenaga tidak terlatih (misalnya dukun) atau ke tenaga medis
terlatih (misalnya dokter ahli kandungan). Penelitian yang dilakukan oleh
Faisal dan Ahmad (1998:34) cara yang dilakukan oleh dukun untuk menolong
pasiennya antara lain dengan cara mengurut, memasukkan tangkai daun ke dalam
rahim dan/atau menggunakan ramuan yang diminumkan kepada pasiennya.
Akibat
berjenjangnya tahapan perempuan dalam mencari pelayanan, menyebabkan mereka
terlambat menerima pelayanan secara aman. Keterlambatan juga seringkali
disebabkan oleh tuntutanan kelayakan administrasi yang terlampau tinggi atau
kurangnya pengetahuan pasien dan kurang tersedianya fasilitas kesehatan
(Sumapraja dkk, 1979). Padahal bahaya pengguguran kandungan meningkat seiring
dengan bertambahnya umur kehamilan. Studi oleh Sembiring (1993; di dalam
Emiyanti dkk 1997) tentang remaja putri hamil pranikah di Kotamadya Medan
memperlihatkan bahwa dari 124 kasus aborsi, 21.15% mencari pertolongan pada
usia kehamilan triwulan I, 56,73% pada triwulan II dan 22,12% pada triwulan
III. Dengan demikian, hampir 80% pasien yang terlambat mencari pelayanan.
Tidak pernah ada standar biaya pelayanan aborsi, karena memang aborsi tidak pernah diperbolehkan di Indonesia. Akibatnya, besar biaya yang dikenakan kepada klien juga sangat beragam, dan umumnya sangat mahal, karena risiko yang dijatuhkan kepada pemberi pelayanan itu juga sangat besar. Di Kendari, dukun memasang tarif hingga Rp. 500.000, tergantung kepada reputasi (pengalaman) dukun dan juga besarnya kehamilan (Faisal dan Ahmad 1998). Tenaga medis di Bali memasang tarif aborsi antara Rp. 300.000 – Rp. 750.000 untuk kehamilan bawah 3 bulan dan lebih dari Rp. 1.000.000 bila kehamilan sudah di atas 3 bulan (Dewi 1997:45).
Tidak pernah ada standar biaya pelayanan aborsi, karena memang aborsi tidak pernah diperbolehkan di Indonesia. Akibatnya, besar biaya yang dikenakan kepada klien juga sangat beragam, dan umumnya sangat mahal, karena risiko yang dijatuhkan kepada pemberi pelayanan itu juga sangat besar. Di Kendari, dukun memasang tarif hingga Rp. 500.000, tergantung kepada reputasi (pengalaman) dukun dan juga besarnya kehamilan (Faisal dan Ahmad 1998). Tenaga medis di Bali memasang tarif aborsi antara Rp. 300.000 – Rp. 750.000 untuk kehamilan bawah 3 bulan dan lebih dari Rp. 1.000.000 bila kehamilan sudah di atas 3 bulan (Dewi 1997:45).
Banyak
alasan yang dikemukakan perempuan untuk mendapatkan pelayanan aborsi,
diantaranya kontrasepsi yang gagal, hamil di luar nikah, ekonomi, jenis
kelamin, perkosaan/incest, faktor kesehatan ibu atau janin dalam kandungan
mengalami kecacatan. Mengenai alasan aborsi ini memang masih banyak mengundang
kontroversi. Bila alasan aborsi karena kondisi kesehatan ibu yang tidak
memungkinkan, tidak banyak orang yang memperdebatkan. Bahkan dokter tidak
berkeberatan melakukan tindakan ini tanpa harus ketakutan terancam pidana.
Nyatanya, sedikit sekali perempuan yang datang mencari pelayanan aborsi dengan
alasan kesehatannya atau kondisi bayi dalam kandungannya. Sebagian besar mereka
datang dengan alasan psiko-sosial.
Pandangan
Umum Tentang Abortus Buatan
Para
ahli dari berbagai disiplin ilmu seperti ahli agama, ahli hukum, sosial dan
ekonomi memberikan pandangan yang berbeda terhadap dilakukannya abortus buatan.
Ahli agama melihatnya dari kaca dosa dan mereka sepakat bahwa melakukan abortus
buatan adalah perbuatan dosa. Begitu pula dengan ahli ekonomi, mereka sepakat
bahwa alasan ekonomi tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan
dilakukannya pengguguran kandungan.
Pada umumnya para ahli tersebut menentang dilakukannya abortus buatan meskipun jika berhadapan dengan masalah kesehatan (keselamatan nyawa ibu) mereka dapat memahami dilakukannya abortus buatan. Demikian halnya dengan negara-negara di dunia, pada umumnya setiap negara memiliki undang-undang yang melarang dilakukannya abortus buatan meskipun pelarangan tersebut tidak bersifat mutlak.
Pada umumnya para ahli tersebut menentang dilakukannya abortus buatan meskipun jika berhadapan dengan masalah kesehatan (keselamatan nyawa ibu) mereka dapat memahami dilakukannya abortus buatan. Demikian halnya dengan negara-negara di dunia, pada umumnya setiap negara memiliki undang-undang yang melarang dilakukannya abortus buatan meskipun pelarangan tersebut tidak bersifat mutlak.
Secara rinci KUHP mengancam
pelaku-pelaku abortus buatan ilegal sebagai berikut:
·
Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya, hukuman maksimal 4 tahun (KUHP pasal 336).
·
Seseorang yang menggugurkan kandungan tanpa
seizinnya, hukuman maksimal 12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal,
hukuman maksimum 15 tahun (KUHP pasal 347).
·
Seseorang yang menggugurkan kandungan
wanita dengan seizin wanita tersebut, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila
wanita tersebut meninggal, maksimum 7 tahun (KUHP pasal 348).
·
Dokter, bidan atau juru obat yang
melakukan kejahatan di atas, hukuman ditambah dengan sepertiganya dan
pencabutan hak pekerjaannya (KUHP pasal 349).
·
Barang siapa mempertunjukkan alat/cara
menggugurkan kandungan kepada anak di bawah usia 17 tahun/di bawah umur,
hukuman maksimum 9 bulan (KUHP pasal 383).
·
Barang siapa
menganjurkan/merawat/memberi obat kepada seorang wanita dengan memberi harapan
agar gugur kandungannya, hukuman maksimum 4 tahun (KUHP pasal 299).
2.3 STRES PADA WANITA YANG MELAKUKAN ABORSI
(diungkapkan oleh Fontana
(1998) dan Stolten (1981))
1. Gejala
Fisik
Subjek mengalami gejala stres yang di
tandai dengan gejala stres fisik, yaitu :
(a) Nafsu makan berkurang
(b) Mual
(c) sakit kepala
(d) Tekanan darah tinggi.
2. Gejala
Kognitif
Subjek mengalami gejala stres yang di
tandai dengan gejala stres kognitif, yaitu : (a)
sulit berkonsentrasi,
(b) Delusi dan gangguan
pikiran.
3. Gejala
Emosional dan Mental
Subjek
mengalami gejala stres yang di tandai dengan gejala stres emosional dan mental, yaitu :
(a) Depresi dan tidak berdaya
(b) Harga diri menurun
(c) Rasa ingin marah terus
menerus
(d) Berkurangnya minat
terhadap kehidupan
(e) Mudah terganggu
4. Gejala
Behavioral (Tingkah Laku)
Subjek mengalami gejala stres yang di tandai dengan gejala stres
behavioral (tingkah laku), yaitu :
(a) Menurunnya minat atau
antusiasme
(b) Menurunnya energi dan
kelincahan aktivitas tubuh
(c) Insomnia (sulit
tidur)
(d) Sering menangis dan ingin
menangis
(e) Selalu gelisah
(f) Cenderung pendiam
(g) Meningkatnya sinisme
(h) Penyalahgunaan obat-obatan meningkat
Dampak
Aborsi Bagi Kesehatan
Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita
yang melakukan aborsi:
1. Resiko Kesehatan Dan Keselamatan Secara
Fisik
Pada
saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang
dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis
oleh Brian Clowes, Phd yaitu:
·
Kematian mendadak karena pendarahan
hebat
·
Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
·
Kematian secara lambat akibat infeksi
serius disekitar kandungan
·
Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
·
Kerusakan leher rahim (Cervical
Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya
·
Kanker payudara (karena
ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
·
Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
·
Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
·
Kanker hati (Liver Cancer)
·
Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta
Previa) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
·
Menjadi mandul/tidak mampu memiliki
keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
·
Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory
Disease)
·
Infeksi pada lapisan rahim
(Endometriosis)
2. Resiko Gangguan Psikologis (Resiko Kesehatan Mental)
Proses
aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan
dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang
sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam
dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau
PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After
Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994).
Pada
dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti
berikut ini:
·
Kehilangan harga diri (82%)
·
Berteriak-teriak histeris (51%)
·
Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi
(63%)
·
Ingin melakukan bunuh diri (28%)
·
Mulai mencoba menggunakan obat-obat
terlarang (41%)
·
Tidak bisa menikmati lagi hubungan
seksual (59%)
Diluar
hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi
perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.
Sindrom Paska-Aborsi (Post-Abortion Syndrom - PAS)
Masuk
dalam kategori kelainan paska-trauma berat (Post Traumatic Stress Disorder),
entah itu yang akut (langsung terjadi) atau baru timbul di kemudian hari.
Dalam bentuk akut, gejala-gejalanya timbul dalam 6 bulan setelah trauma
berlangsung dan biasanya sembuh dalam 2waktu 6 bulan kemudian. Jika PAS
timbul di kemudian hari, gejala-gejalanya menetap lebih lama dan PAS akan
timbul lama kemudian. PAS yang saya temui kebanyakan timbul dalam jangka
waktu yang lama setelah aborsi dilakukan, berbulan-bulan hingga beberapa tahun
kemudian.
Mengapa
Pas Baru Muncul Lama Setelah Aborsi ?
Saat
ingin melakukan aborsi, seorang wanita berada dalam kebingungan dan
kebimbangan. Dengan dorongan atau ancaman dari orang-orang sekelilingnya,
maka seorang wanita tanpa pikir panjang akan langsung menyetujui proses
pengguguran kandungannya. Setelah semuanya terjadi, yang dipikirkan
adalah bagaimana kelanjutan hidup si wanita tadi dan bagaimana caranya
melupakan aborsi yang telah terjadi. Penyangkalan lalu muncul. Si
wanita tidak mau memikirkan atau membicarakan hal itu lagi, dia mau
menjadikannya rahasia pribadi, dia menjadi tertutup, dan takut didekati.
Penyangkalan, kematian seorang anak atau kerabat dekat, perasaan tertekan, atau
menghapus ingatannya dapat membuat seorang wanita tidak mengingat-ingat aborsi
yang dilakukannya untuk sementara waktu. Tetapi untuk melakukan hal-hal
itu, seorang wanita memerlukan ketegaran mental yang tinggi.
Gejala-Gejala
Apa Yang Biasanya Timbul Mendahului PAS?
Penyangkalan
adalah salah satunya. Saat kenangan datang kembali, mungkin si wanita
dalam tidurnya mendapatkan mimpi-mimpi mengenai bayi atau klinik aborsi.
Terkadang, rasa bersalah dan penyesalan muncul. Depresi adalah salah satu
tanda awal terjadinya PAS, disertai rasa gelisah dan marah-marah. Si
wanita akan mengalami perasaan yang buntu sebagai contoh ia berada dalam suatu
keramaian tanpa dapat menikmatinya. Mungkin juga terjadi rusaknya
hubungan pernikahan atau hubungan dengan kekasihnya, menarik diri dari hubungan
intim dan hilangnya gairah berhubungan intim. Terkadang kita menyaksikan
kehamilan yang terus-menerus, karena mungkin si wanita berusaha menebus dosa
pembunuhan yang dilakukan terhadap anaknya sendiri lewat aborsi dengan jalan
melahirkan berkali-kali. Mungkin juga terjadi kesulitan berkonsentrasi,
inefisiensi kerja dan pikiran yang buntu.
Adakah
Hubungan Antara Pas Dan Penyiksaan Anak ?
Depresi,
marah-marah dan kesukaran menerima kenyataan membuat si wanita menjadi
sukar sekali berhubungan dengan anak-anak. Dalam semua kasus kelainan
paska-trauma berat, frustasi sering kali muncul, dan si wanita mungkin dapat
dengan tiba-tiba meledak kemarahannya hanya karena sebab yang kecil dan mungkin
juga bisa menyakitkan orang lain. Saya pernah membaca sebuah
jurnal. Si penulis menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki
keinginan kuat untuk mempunyai keturunan, tetapi untuk waktu sekarang, nilai
hidup anak-anak menjadi turun. Sekali kita melakukan aborsi, maka nilai
hidup seorang anak akan turun lebih rendah lagi. Ini semua memotong
keinginan kita untuk memiliki keturunan. Ketidakpedulian kita pada
anak-anak juga mempengaruhi cara kita mengasuh anak, menambah angka pada jumlah
kehamilan yang tak diinginkan, meningkatkan aborsi dan penyiksaan anak.
Situasi
Yang Bisa Memicu Terjadinya Pas
Ada
beberapa kejadian yang membuat seorang wanita mengingat kembali aborsi yang
dilakukannya, seperti si wanita harus menjalani rawat inap di rumah sakit atau
masuk ke dalam ruang operasi. Menunggui anaknya yang akan dioperasi,
kelahiran anaknya atau melihat bayi temannya. Juga mungkin saat melihat
anaknya atau anggota keluarganya atau juga teman yang meninggal.
Apakah
Setiap Wanita Yang Melakukan Aborsi Bisa Terkena PAS?
Beberapa
wanita dapat melewati masa-masa paska-aborsi dengan bimbingan konsultan, agama
atau keluarga dan teman-teman. Tetapi seorang wanita yang sama sekali
tidak terpengaruh oleh aborsi yang dilakukannya adalah seorang wanita yang
memiliki keanehan kejiwaan. Wanita seperti itu biasanya tidak memiliki
perasaan terhadap sesamanya dan tidak memikirkan akibat tindakan yang
dilakukannya terhadap orang lain. Lebih pandai seorang wanita menekan
perasaannya, lebih lama PAS datang padanya, tetapi si wanita akan merasa tambah
tertekan. Beberapa wanita yang melakukan aborsi dapat dengan santai
membicarakannya. Mereka membuat tim konseling dan terlihat biasa-biasa
saja, tetapi sebetulnya mereka telah menghabiskan waktu dan tenaga yang banyak
untuk bisa tampil seperti itu.
Bagaimana
Cara Menanggulangi PAS?
Terapis
akan membawa si pasien mengingat kembali kehidupannya dan mewawancarai keluarga
dekatnya. Terapis akan mengunjungi si pasien sering-sering, tetapi
ingat, pertama-tama, jangan pernah menjejalinya dengan banyak hal atau
membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan sulit. Saat dalam proses
mengenang kembali aborsi yang dilakukannya, si pasien harus mengerti bagaimana
dan kenapa hal itu terjadi. Si pasien harus melihat bagaimana dia menjalani
hidupnya paska-aborsi.
2.4 UPAYA MENGURANGI ATAU MENGATASI
ABORTUS BUATAN ILEGAL DI KALANGAN TENAGA KESEHATAN
Para dokter dan tenaga medis lainnya, hendaklah selalu
menjaga sumpah profesi dan kode etiknya dalam melakukan pekerjaan. Jika hal ini
secara konsekwen dilakukan pengurangan kejadian abortus buatan ilegal
akan secara signifikan dapat dikurangi.
Dalam
deklarasi Oslo (1970) tentang pengguguran kandungan atas indikasi medik,
disebutkan bahwa moral dasar yang dijiwai seorang dokter adalah butir Lafal
Sumpah Dokter yang berbunyi : ”Saya akan menghormati hidup insani sejak
saat pembuahan : oleh karena itu Abortus buatan dengan indikasi medik,
hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat berikut”:
1.
Pengguguran hanya dilakukan sebagai
suatu tindakan terapeutik.
2.
Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan,
sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih
berkat kompetensi profesional mereka.
3.
Prosedur itu hendaklah dilakukan seorang
dokter yang kompeten di instalasi
yang diakui
oleh suatu otoritas yang sah.
4. Jika dokter itu merasa bahwa hati nuraninya tidak
memberanikan ia melakukan pengguguran tersebut, maka ia hendak mengundurkan
diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu kepada sejawatnya yang lain
yang kompeten.
5. Selain memahami dan menghayati sumpah profesi dan kode etik,
para tenaga kesehatan perlu pula meningkatkan pemahaman agama yang dianutnya.
Melalui Pemahaman agama yang benar, diharapkan para tenaga kesehatan dalam
menjalankan profesinya selalu mendasarkan tindakannya kepada tuntunan agama.
Cara
menanggulani aborsi :
• Merencanakan program
kehamilan
• Penyuluhan bahaya
aborsi
• Pemahaman ttg adab
pergaulan
• Pendidikan nikah muda
Cara
mengatasi stres paska aborsi :
• Lingkungan memberikan
perhatian lebih dan motivasi
• Mengunjungi psikolog
jika stres berlanjut
2.5 ISLAM
MEMANDANG PENGGUGURAN KANDUNGAN
Ada dua fakta yang dibedakan oleh para fuqaha dalam masalah
ini. Pertama: apa yang disebut imlash (aborsi, pengguguran
kandungan). Kedua, isqâth (penghentian kehamilan). Imlash adalah
menggugurkan janin dalam rahim wanita hamil yang dilakukan dengan sengaja untuk
menyerang atau membunuhnya. Dalam hal ini, tindakan imlash (aborsi)
tersebut jelas termasuk kategori dosa besar; merupakan tindak kriminal.
Pelakunya dikenai diyat ghurrah budak pria atau wanita, yang nilainya
sama dengan 10 diyat manusia sempurna. Dalam kitab Ash-Shahîhayn, telah
diriwayatkan bahwa Umar telah meminta masukan para sahabat tentang aktivitas imlâsh
yang dilakukan oleh seorang wanita, dengan cara memukuli perutnya, lalu
janinnya pun gugur. Al-Mughirah bin Syu’bah berkata:
«قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ
بِالْغُرَّةِ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ»
Rasulullah saw. telah memutuskan dalam kasus seperti itu
dengan diyat ghurrah 1 budak pria atau wanita.
Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Muhammad bin Maslamah,
yang pernah menjadi wakil Nabi saw. di Madinah. Karena itu, pada dasarnya hukum
aborsi tersebut haram.
Ini berbeda dengan isqâth
al-haml (penghentian kehamilan), atau upaya menghentikan kehamilan yang
dilakukan secara sadar, bukan karena keterpaksaan, baik dengan cara
mengkonsumsi obat, melalui gerakan, atau aktivitas medis tertentu. Penghentian
kehamilan dalam pengertian ini tidak identik dengan penyerangan atau
pembunuhan, tetapi bisa juga diartikan dengan mengeluarkan kandungan—baik
setelah berbentuk janin ataupun belum—dengan paksa.
Dalam hal ini,
penghentian kehamilan (al-ijhâdh) tersebut kadang dilakukan sebelum
ditiupkannya ruh di dalam janin, atau setelahnya. Tentang status hukum
penghentian kehamilan terhadap janin, setelah ruh ditiupkan kepadanya, maka
para ulama sepakat bahwa hukumnya haram, baik dilakukan oleh si ibu, bapak,
atau dokter. Sebab, tindakan tersebut merupakan bentuk penyerangan terhadap
jiwa manusia, yang darahnya wajib dipertahankan. Tindakan ini juga merupakan
dosa besar.
]وَلاَ تَقْتُلُوْا
النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ[
Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah,
kecuali dengan cara yang haq. (QS al-An‘am [6]:
151).
Al-Bukhari dan
Muslim juga menuturkan riwayat dari Abu Hurairah yang menyatakan:
«قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
جَنِيْنِ اِمْرَأَةً مِنْ بَنِي لِحْيَانٍ مَيْتًا بِغُرَّةِ عَبْدٍ اَوْ اَمَةٍ»
Rasulullah telah memutuskan untuk pembunuhan janin wanita
Bani Lihyan dengan ghurrah 1 budak pria atau wanita.
Janin yang dibunuh
dan wajib atasnya ghurrah adalah bayi yang sudah berbentuk ciptaan
(janin), misalnya mempunyai jari, tangan, kaki, kuku, mata, atau yang lain.
Mengenai
penghentian kehamilan sebelum ditiupkannya ruh, para fuqaha telah berbeda
pendapat. Ada yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkan. Menurut kami,
jika penghentian kehamilan itu dilakukan setelah empat puluh hari usia
kehamilan, saat telah terbentuknya janin (ada bentuknya sebagai manusia), maka
hukumnya haram. Karenanya, berlaku hukum penghentian kehamilan setelah ruhnya
ditiupkan, dan padanya berlaku diyat ghurrah tersebut.
Karena itu, tema
pembahasan penghentian kehamilan dalam konteks ini meliputi beberapa hal:
1- Jika seorang wanita yang tengah
mengandung mengalami kesulitan saat melahirkan, ketika janinnya telah berusia
enam bulan lebih, lalu wanita tersebut melakukan operasi sesar. Penghentian
kehamilan seperti ini hukumnya boleh, karena operasi tersebut merupakan proses
kelahiran secara tidak alami. Tujuannya untuk menyelamatkan nyawa ibu dan
janinnya sekaligus. Hanya saja, minimal usia kandungannya enam bulan. Aktivitas
medis seperti ini tidak masuk dalam kategori aborsi; lebih tepat disebut proses
pengeluaran janin (melahirkan) yang tidak alami.
2- Jika janinnya belum berusia enam
bulan, tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya, maka
kesehatan ibunya bisa terganggu. Dalam kondisi seperti ini, kehamilannya tidak
boleh dihentikan, dengan cara menggugurkan kandungannya. Sebab, sama dengan
membunuh jiwa. Alasannya, karena hadis-hadis yang ada telah melarang
dilakukannya pengguguran, serta ditetapkannya diyat untuk tindakan
seperti ini.
3- Jika janin tersebut meninggal di
dalam kandungan. Dalam kondisi seperti ini, boleh dilakukan penghentian
kehamilan. Sebab, dengan dilakukannya tindakan tersebut akan bisa menyelamatkan
nyawa ibu, dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapinya; sementara janin
tersebut berstatus mayit, yang karenanya harus dikeluarkan.
4- Jika janin tersebut belum berusia
enam bulan, tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya,
maka nyawa ibunya akan terancam. Dokter pun sepakat, kalau janin tersebut tetap
dipertahankan—menurut dugaan kuat atau hampir bisa dipastikan—nyawa ibunya
tidak akan selamat, atau mati. Dalam kondisi seperti ini, kehamilannya boleh dihentikan,
dengan cara menggugurkan kandungannya, yang dilakukan untuk menyembuhkan dan
menyelamatkan nyawa ibunya. Alasannya, karena Rasulullah saw. memerintahkan
berobat dan mencari kesembuhan. Di samping itu, jika janin tersebut tidak
digugurkan, ibunya akan meninggal, janinnya pun sama, padahal dengan janin
tersebut digugurkan, nyawa ibunya akan tertolong, sementara menyelamatkan nyawa
(kehidupan) tersebut diperintahkan oleh Islam.
Dengan demikian,
dalil-dalil tentang kebolehan menghentikan kehamilan, khususnya untuk
menyelamatkan nyawa ibu, juga dalil-dalil berobat dan mencari kesembuhan, pada
dasarnya merupakan dalil mukhashshish bagi hadis-hadis yang mengharamkan
tindakan pengguguran janin. Secara umum dalil haramnya pengguguran kandungan
tersebut dinyatakan dalam konteks pembunuhan, atau penyerangan terhadap janin.
Karena itu, penghentian kehamilan dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu
tidak termasuk dalam kategori penyerangan, dan karenanya diperbolehkan.
2.6 PENDEKATAN
MASALAH-PSIKOANALISA
Jika kita
tinjau dan kita pahami dari kacamata Psikoanalisa, orang yang melakukan aborsi
itu sendiri kurang bisa mengendalikan ego-nya. Kurang memahami dan
mempertahankan aturan yang ada pada masyarakat semestinya (super ego). Sehingga
adanya konflik antara id dan super ego, dimana id dari pelakunya ingin
menggugurkan kandungannya karena alasan tidak ingin memiliki
anak karena khawatir mengganggu karir, sekolah atau tanggung jawab lain, tidak
memiliki cukup uang untuk merawat anak, tidak ingin memiliki anak tanpa ayah, masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah)
dan aib keluarga, ataupun sudah memiliki banyak anak. Super egonya yang
terdiri dari harapan-harapan masyarakat juga tidak terlalu kuat. Jadi dari
konflik antara id dan super ego, egonya itu memutuskan untuk menggugurkan
kandungan tersebut karena idnya lebih kuat daripada super egonya.
Karena adanya konflik pada egonya
tersebut, pelaku mengalami dua situasi yang membuat ia stress dimana ia
dituntut banyak oleh lingkungan dan idnya. Sehingga ia tidak bisa berfikir
rasional dan tertekan. Sedangkan ia merasa bersalah setelah melakukan aborsi,
dan merasa bahwa egonya tidak mampu mengambil keputusan dengan baik,
sehingga
bayang-bayang tidakan aborsinya tersebut bisa mengganggunya saat tidur.
BAB III
KESIMPULAN
Di Indonesia Pengontrolan reproduksi, sebenarnya harus diselenggarakan sebelum terjadinya pembuahan. Menurut pandangan Islam, untuk mencegah kelahiran seorang anak yang cacat, sebaiknya digunakan cara-cara kontrasepsi daripada memilih terminasi kehamilan
Di negara-negara dengan rasio abortus / terminasi kehamilan yang tinggi, jumlah terminasi secara drastis menurun, karena tersedianya bermacam-macam cara kontrasepsi.
Ternyata legalitas abortus / terminasi kehamilan dan akses terhadap pelayanannya tidak mengakibatkan terjadinya peningkatan hal ini untuk kontrol fertilitas. Kekerapan terminasi kehamilan di dunia + 180 juta kasus per tahun. Tingginya jumlah ini biasanya akibat kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancies) tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara berkembang, meskipun penggunaan cara-cara KB sudah sangat maju. Ternyata di negara-negara di mana hukum membatasi tindakan terminasi, tindakan abortus / terminasi kehamilan di negara tersebut masih kira-kira 30 dalam 1000 kehamilan per tahun.
Antara
negara-negara Islam, Tunisia yang paling maju, yang melegalisasi terminasi
kehamilan dalam trimester pertama, sedangkan di negara-negara Amerika Latin
terdapat kecenderungan memperoleh keluarga kecil (small family), sedangkan
ternyata kegiatan seksual sebelum nikah, terutama di kalangan remaja, terus
meningkat, sehingga keputusan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini
yang menerima usulan tentang hak fertilitas wanita dan kebutuhan pendidikan
seks, merupakan kemajuan dalam hal terjadinya terminasi kehamilan / abortion
for non-medical reasons dapat dibenarkan.
Bidan
merupakan salah satu unsur tenaga medis yang berperan dalam mengurangi angka
kematian bayi dan ibu yang melahirkan, baik dalam proses persalinan maupun
dalam memberikan penyuluhan atau panduan bagi ibu hamil. Melihat besarnya
peranan bidan tersebut, maka haruslah ada pembatasan yang jelas mengenai hak
dan kewajiban dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan bidan tersebut. Maka,
dibuatlah Kode Etik bidan, dimana kode etik tersebut merupakan suatu pernyataan
kemprehensif dan profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota untuk
melaksanakan praktek profesinya, baik yang berhubungan dengan klien sebagai
individu, keluarga, masyarakat, maupun terhadap teman sejawat, profesi dan diri
sendiri, sebagai kontrol kualitas alam praktek kebidanan
DAFTAR
PUSTAKA
Di unduh dari :
http://cikarang-skull.blogspot.com/2009/01/abortus-provocatus-dan-hukum.html
www.aborsi.org/artikel3.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar