Kesuksesan itu merupakan buah dari pengetahuan dan perjuangan seseorang

Kamis, 10 Januari 2013

RELIGIUSITAS



       Religiusitas berasal dari kata religion yang berarti agama. Zainal A.A  menjelaskan bahwa menurut bahasa sanserkerta agama artinya peraturan atau ajaran, ada pula berpendapat agama berasal dari kata “a” artinya tidak dan “gama” artinya rusak, maksudnya adalah agama mengatur kehidupan manusia agar tidak rusak atau tidak terjerumus ke jalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

      Utsman Najati (2005) menerangkan bahwa secara fitrah manusia memiliki kesiapan (potensi) untuk mengenal dan beriman kepada Allah SWT. Secara fitrah manusia juga berpotensi untuk bertauhid, mendekatkan diri kepada Sang Kuasa, meminta pertolongan kepada- Nya ketika dalam situsi genting. Al-Qura’anul Karim telah mengisyaratkan adanya potensi yang dimiliki manusia untuk beragama. Allah Ta’aala berfirman :
Artinya : “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “ (Qs. Ar-Ruum 30 : 30).
         Menurut Herbert Spencer, agama adalah upaya menyenangkan atau berdamai dengan kuasa-kuasa di atas manusia yang dipercayai dapat mengarahkan dan mengendalikan jalanya alam dan kehidupan manusia. Menurut J.G. Fraizer, agama hanyalah upaya megungkapkan realitas sempurna tentang kebaikan melalui setiap aspek wujud kita. Menurut F.H. Bradley, agama adalah etika yang ditingkatkan, dinyalakan, dan terangi oleh perasaan. Menurut Mathew Arnold (dalam Rakhmat, 2003) agama yang paling baik digambarkan sebagai emosi yang didasarkan pada keyakinan akan harmoni di antara diri kita dan alam semesta secara keseluruhan. 
          Dister (1992) juga menjelaskan bahwa religiusitas adalah keadaan dimana individu merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya kepada-Nya manusia merasa bergantung dan berserah diri. 
           Menurut  Zainal A.A adalah pengertian agama yang didasarkan atas fungsi agama sebagai way of life yang membuat hidup manusia tidak kacau. Agama yang berfungsi sebagai way of life ini memelihara seseorang atau kelompok orang agar hubungan dengan Tuhannya, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam sekitarnya “tidak kacau” dengan kata lain, agama menjadi alat ukur mencapai terwujudnya integritas hidup manusia dalam triparti hubungan itu (Abdurrahman Kasdi, 2003).
           Fuat Nashori dan Rachmy D.M menjelaskan tentang definisi religiusitas yaitu “ seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya”.                                                                                                                                       
         Sedangkan religiusitas menurut Djamaludin Ancok (1994) berarti pembicaraan mengenai pengalaman atau fenomena yang menyangkut hubungan antara agama dengan penganutnya atau suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang (penganut agama) yang mendorongnya untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.
      Rachmat Djatnika (mantan rektor UIN Bandung) berpendapat dalam ajaran Islam istilah religius pengertiannya sepadan dengan istilah aqidah. Menurut Nashir Abdul Karim, aqidah menurut bahasa berasal dari kata aqad, ‘ikatan’, penguatan, pemantapan dan pengikatan dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, aqidah adalah keimanan yang teguh, yang tidak dihinggapi suatu keraguan apa pun bagi pemiliknya.


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
  1. Faktor Intelektual
Kemampuan berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakannya sebagai alat untuk membedakan yang benar dan yang salah merupakan keberhasilan menusia yang bisa diharapkan pengaruhnya terhadap perkembangan tingkat religiusitas. Beberapa faktor pengaruh lingkungan sosial seseorang dan emosi, keduanya meskipun tidak diverbalisasikan pada umumnya sebagai bagian yang mepengaruhi sikap keagamaan, akan tetapi keduanya akan lebih kuat dengan diiringi menggunakan intelektual atau secara rasional (Thouless, 1995).
  1. Faktor Emosional
Setiap pemeluk agama memiliki pengalaman emosional dalam kadar tertentu yang berkaitan dengan agamanya. Namun ada sejumlah orang, terjadi pengalman-pengalaman keagamaan yang memiliki kekuatan dan komitmen agama yang luar biasa sehingga berbeda dengan pengalaman-pengalaman orang lain. Ada beberapa orang secara emosional merasa terpengaruh oleh pengalaman dalam suatu ruangan ketika mendengar lantunan ayat suci Al- Quran atau adzan, dan ada sebagian yang lain menganggapnya sebagai bagian peribadatan yang tidak menguntungkan. Pendapat orang-orang beragama pada umumnya bahwa akibat penting dari kesadaran beragama adalah dorongan untuk taat kepada ajaran agama yang dipeluknya dan berperilaku yang baik dengan sesama manusia, dan nilai emosi keagamaan itu harus dinilai dari keberhasilannya dalam membantu tercapainya tujuan-tujuan itu.
(Thouless, 1995).
  1. Faktor Sosial
Faktor sosial berpengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, mulai dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang di sekitar kita dari apa yang mereka katakan berpengaruh terhadap sikap-sikap keagamaan kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau. Karena tidak seorangpun diantara kita yang dapat mengembangkan sikap-sikap keagamaan dalam keadaan yang terisolasi dari saudara-saudara kita dalam masyarakat. (Thouless)
  1. Faktor Hidayah
Faktor hidayah inilah semua orang jarang mendapatkannya, hanya Allah yang Maha Kuasa siapa yang berhak mendapatkan hidayah-Nya. Allah lah yang tahu rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya. Ada orang-orang yang memperoleh hidayah dari Allah dengan mudah. Tetapi ada pula yang sukar mendapatannya, bahkan tidak berhasil sama sekali mendapatkannya. Hal itu semua tergantug kepada kehendak Illahi samata-mata (Soetarjo, 2009). Orang-orang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan hidayah adalah mereka yang membuka hatinya kepada hidayah, yang membuka akalnya kepada kebenaran, yang mencari dan menerima Allah dengan ikhlas dan jujur, dan tunduk kepada Agama-Nya dengan penuh ketaatan dan penyerahan. Mereka inilah yang akan ditolong oleh Allah untuk mendapatkan hidayah, diantarakan kepadanya, didorong melakukan dan ditambah keimanan dan petunjuk mereka di dalam kehidupan ini (Ilyas, 2008).
Menurut Glock & Stark (dalam Ancok, 1994), ada lima macam religiusitas yaitu:
1)    Keyakinan. 
   Berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama.
2)    Praktek Agama
     Mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya, terdiri dari ritual yang pada seperangkat berupa tindakan keagamaan formal dan praktek-prakrek suci yang semua agama mengharapkan para penganutnya melaksanakannya, contohnya shalat di Masjid, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
3)    Pengalaman
    Berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan seeorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan respondentif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kotak dengan kekuatan supranatural). Hal ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang.
4)    Pengetahuan Agama
     Mengacu kepada harapan orang-orang yang beragama paling tidak memilki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
5)    Pengamalan  atau Konsekuensi
      Mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. Dan konsekuensi ini di tiap komitmen agama berlainan. Maka dari itu, kita perlu suatu ketegasan secara nyata yang dapat diambil dari salah satu hukum agama yang tertulis yang terdapat di dalam kitab agama masing-masing, untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat menjerumuskan kehidupan bermasyarakat. 
Fungsi Religiusitas 
       Diner n.s (1981) mengemukakan ada empat fungsi dari religiusitas (emosional-afektif, sosio-moral,  intelektual-kognitif dan psikologis) yaitu :
1)    Untuk Mengatasi Frustasi
      Manusia memiliki berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi maka akan timbul rasa kecewa yang pada akhirnya dapat menyebabkan frustasi. Dan orang yang mengalaminya akan berusaha mengatasi frustasi tersebut dengan jalan membelokkan arah kebutuhannya dari hal-hal yang bersifat keduniawian kepada Tuhan dan mengharapkan pemenuhan keinginan tersebut. Rasa berserah diri tersebut dapat menenangkan karena timbul rasa yakin bahwa Tuhan akan menolong setiap hamba-Nya sehingga dapat memberikan ketentraman hati.
2)    Untuk Mengatasi Ketakutan
      Ada dua macam yang dapat dibedakan yaitu,  ketakutan yang ada objeknya seperti takut kepada seseorang atau benda-benda tertentu dan ketakutan yang tidak ada objeknya seperti cemas hati. Ketakutan tanpa objek inilah yang sering menimbulkan kebingungan pada manusia dan dapat menimbulkan frustasi, maka secara tidak langsung ketakutan tersebut mempengaruhi timbulnya perilaku religiusitas. Jika ketakutan erat hubungannya dengan manusiawi yang dapat menimbulkan perilaku agamawi, sehingga setiap orang manyakini bahwa Tuhan akan selalu dekat dengan setiap hamba-Nya dan dapat melenyapkan segala kecemasan hati.
3)    Untuk Menjaga Kesulitan Serta Tata Tertib Masyarakat
      Manusia wajib untuk hidup berdasarkan moral. Ini berarti manusia tidak dapat berhubungan dengan Tuhan kalau manusia tidak hidup berdasarkan norma-norma moral. Oleh sebab itu, seseorang perlu menginternalisasikan nilai-nilai agama agar dapat menciptakan dan mengamalkan nilai-nilai moral yang otonomi dan religiusitas yang berfungsi sebagai pengendali suara hati.

4)    Untuk Memuaskan Intelektual yang Ingin Tahu
      Intelektual yang ingin tahu bisa mendapatkan tiga sumber kepuasan yang dapat ditemukan dalam agama yaitu : a) agama dapat menyajikan pengetahuan rahasia yang menyelamatkan kejasmanian yang dianggap menghambat dan menghantarkan manusia kepada pengabdian. b) dengan menyajikan suatu moral maka agama memuaskan intelektual yang ingin mengetahui apa yang harus dilakukan manusia dalam hidup agar tercapai tujuannya. c) agama dapat memuaskan keinginan manusia yang mendalam agar hidup manusia bermakna, sehingga manusia sekurang-kurangnya ikut menentukan hidup yang dijalani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar