Religiusitas
berasal dari kata religion yang berarti agama. Zainal A.A menjelaskan bahwa menurut bahasa sanserkerta agama
artinya peraturan atau ajaran, ada pula berpendapat agama berasal dari kata “a”
artinya tidak dan “gama” artinya rusak, maksudnya adalah agama mengatur
kehidupan manusia agar tidak rusak atau tidak terjerumus ke jalan yang tidak
sesuai dengan ajaran agama.
Utsman Najati
(2005) menerangkan bahwa secara fitrah manusia memiliki kesiapan (potensi) untuk
mengenal dan beriman kepada Allah SWT. Secara fitrah manusia juga berpotensi
untuk bertauhid, mendekatkan diri kepada Sang Kuasa, meminta pertolongan
kepada- Nya ketika dalam situsi genting. Al-Qura’anul Karim telah
mengisyaratkan adanya potensi yang dimiliki manusia untuk beragama. Allah
Ta’aala berfirman :
Artinya : “ Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “ (Qs.
Ar-Ruum 30 : 30).
Menurut Herbert
Spencer, agama adalah upaya menyenangkan atau berdamai
dengan kuasa-kuasa di atas manusia yang dipercayai dapat mengarahkan dan
mengendalikan jalanya alam dan kehidupan manusia. Menurut J.G. Fraizer, agama hanyalah upaya megungkapkan realitas sempurna tentang
kebaikan melalui setiap aspek wujud kita. Menurut F.H. Bradley, agama adalah etika yang ditingkatkan, dinyalakan, dan terangi oleh
perasaan. Menurut Mathew Arnold (dalam Rakhmat, 2003) agama yang paling baik
digambarkan sebagai emosi yang didasarkan pada keyakinan akan harmoni di antara
diri kita dan alam semesta secara keseluruhan.
Dister (1992) juga
menjelaskan bahwa religiusitas adalah keadaan dimana individu merasakan dan
mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya
kepada-Nya manusia merasa bergantung dan berserah diri.
Menurut Zainal
A.A adalah pengertian agama yang didasarkan atas fungsi agama sebagai way of
life yang membuat hidup manusia tidak kacau. Agama yang berfungsi sebagai way
of life ini memelihara seseorang atau kelompok orang agar hubungan dengan
Tuhannya, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam sekitarnya
“tidak kacau” dengan kata lain, agama menjadi alat ukur mencapai terwujudnya integritas
hidup manusia dalam triparti hubungan itu (Abdurrahman Kasdi, 2003).
Fuat Nashori
dan Rachmy D.M menjelaskan tentang definisi religiusitas yaitu
“ seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan
ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya”.
Sedangkan religiusitas menurut
Djamaludin Ancok (1994) berarti pembicaraan mengenai pengalaman atau fenomena
yang menyangkut hubungan antara agama dengan penganutnya atau suatu keadaan
yang ada dalam diri seseorang (penganut agama) yang mendorongnya untuk bertingkah
laku yang sesuai dengan agamanya.
Rachmat Djatnika (mantan rektor UIN
Bandung) berpendapat dalam ajaran Islam istilah religius pengertiannya sepadan
dengan istilah aqidah. Menurut Nashir Abdul Karim, aqidah
menurut bahasa berasal dari kata aqad, ‘ikatan’, penguatan, pemantapan dan
pengikatan dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, aqidah adalah keimanan yang
teguh, yang tidak dihinggapi suatu keraguan apa pun bagi pemiliknya.
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Religiusitas
- Faktor Intelektual
Kemampuan
berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakannya sebagai alat untuk
membedakan yang benar dan yang salah merupakan keberhasilan menusia yang bisa
diharapkan pengaruhnya terhadap perkembangan tingkat religiusitas. Beberapa
faktor pengaruh lingkungan sosial seseorang dan emosi, keduanya meskipun tidak
diverbalisasikan pada umumnya sebagai bagian yang mepengaruhi sikap keagamaan,
akan tetapi keduanya akan lebih kuat dengan diiringi menggunakan intelektual
atau secara rasional (Thouless, 1995).
- Faktor Emosional
Setiap pemeluk
agama memiliki pengalaman emosional dalam kadar tertentu yang berkaitan dengan
agamanya. Namun ada sejumlah orang, terjadi pengalman-pengalaman keagamaan yang
memiliki kekuatan dan komitmen agama yang luar biasa sehingga berbeda dengan
pengalaman-pengalaman orang lain. Ada beberapa orang secara emosional merasa
terpengaruh oleh pengalaman dalam suatu ruangan ketika mendengar lantunan ayat
suci Al- Quran atau adzan, dan ada sebagian yang lain menganggapnya sebagai
bagian peribadatan yang tidak menguntungkan. Pendapat orang-orang beragama pada
umumnya bahwa akibat penting dari kesadaran beragama adalah dorongan untuk taat
kepada ajaran agama yang dipeluknya dan berperilaku yang baik dengan sesama
manusia, dan nilai emosi keagamaan itu harus dinilai dari keberhasilannya dalam
membantu tercapainya tujuan-tujuan itu.
(Thouless, 1995).
- Faktor Sosial
Faktor sosial
berpengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, mulai dari pendidikan
yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang
di sekitar kita dari apa yang mereka katakan berpengaruh terhadap sikap-sikap
keagamaan kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau. Karena
tidak seorangpun diantara kita yang dapat mengembangkan sikap-sikap keagamaan
dalam keadaan yang terisolasi dari saudara-saudara kita dalam masyarakat. (Thouless)
- Faktor Hidayah
Faktor hidayah
inilah semua orang jarang mendapatkannya, hanya Allah yang Maha Kuasa siapa
yang berhak mendapatkan hidayah-Nya. Allah lah yang tahu rahasia-rahasia dan
hikmah-hikmahnya. Ada orang-orang yang memperoleh hidayah dari Allah dengan
mudah. Tetapi ada pula yang sukar mendapatannya, bahkan tidak berhasil sama
sekali mendapatkannya. Hal itu semua tergantug kepada kehendak Illahi
samata-mata (Soetarjo, 2009). Orang-orang yang dikehendaki Allah untuk
mendapatkan hidayah adalah mereka yang membuka hatinya kepada hidayah, yang
membuka akalnya kepada kebenaran, yang mencari dan menerima Allah dengan ikhlas
dan jujur, dan tunduk kepada Agama-Nya dengan penuh ketaatan dan penyerahan.
Mereka inilah yang akan ditolong oleh Allah untuk mendapatkan hidayah, diantarakan
kepadanya, didorong melakukan dan ditambah keimanan dan petunjuk mereka di
dalam kehidupan ini (Ilyas, 2008).
Menurut Glock & Stark (dalam
Ancok, 1994), ada lima macam religiusitas yaitu:
1) Keyakinan.
Berisi
pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan
teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama
mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan
taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak
hanya di antara agama-agama.
2) Praktek Agama
Mencakup perilaku
pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen
terhadap agama yang dianutnya, terdiri dari ritual yang pada seperangkat berupa
tindakan keagamaan formal dan praktek-prakrek suci yang semua agama
mengharapkan para penganutnya melaksanakannya, contohnya shalat di Masjid,
puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
3) Pengalaman
Berisikan dan
memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan
tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan seeorang yang beragama dengan baik
pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan respondentif dan langsung mengenai
kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kotak
dengan kekuatan supranatural). Hal ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan,
perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami
seseorang.
4) Pengetahuan Agama
Mengacu kepada
harapan orang-orang yang beragama paling tidak memilki sejumlah minimal pengetahuan
mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
5) Pengamalan atau Konsekuensi
Mengacu pada
identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan
pengetahuan seseorang dari hari kehari. Dan konsekuensi ini di tiap komitmen
agama berlainan. Maka dari itu, kita perlu suatu ketegasan secara nyata yang
dapat diambil dari salah satu hukum agama yang tertulis yang terdapat di dalam
kitab agama masing-masing, untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat
menjerumuskan kehidupan bermasyarakat.
Fungsi Religiusitas
Fungsi Religiusitas
Diner n.s (1981) mengemukakan ada
empat fungsi dari religiusitas (emosional-afektif, sosio-moral, intelektual-kognitif dan psikologis) yaitu :
1)
Untuk Mengatasi Frustasi
Manusia
memiliki berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Apabila kebutuhan tersebut
tidak dapat terpenuhi maka akan timbul rasa kecewa yang pada akhirnya dapat
menyebabkan frustasi. Dan orang yang mengalaminya akan berusaha mengatasi
frustasi tersebut dengan jalan membelokkan arah kebutuhannya dari hal-hal yang
bersifat keduniawian kepada Tuhan dan mengharapkan pemenuhan keinginan
tersebut. Rasa berserah diri tersebut dapat menenangkan karena timbul rasa
yakin bahwa Tuhan akan menolong setiap hamba-Nya sehingga dapat memberikan
ketentraman hati.
2)
Untuk Mengatasi Ketakutan
Ada dua macam
yang dapat dibedakan yaitu, ketakutan
yang ada objeknya seperti takut kepada seseorang atau benda-benda tertentu dan
ketakutan yang tidak ada objeknya seperti cemas hati. Ketakutan tanpa objek
inilah yang sering menimbulkan kebingungan pada manusia dan dapat menimbulkan
frustasi, maka secara tidak langsung ketakutan tersebut mempengaruhi timbulnya
perilaku religiusitas. Jika ketakutan erat hubungannya dengan manusiawi yang
dapat menimbulkan perilaku agamawi, sehingga setiap orang manyakini bahwa Tuhan
akan selalu dekat dengan setiap hamba-Nya dan dapat melenyapkan segala
kecemasan hati.
3)
Untuk Menjaga Kesulitan Serta Tata Tertib Masyarakat
Manusia wajib
untuk hidup berdasarkan moral. Ini berarti manusia tidak dapat berhubungan
dengan Tuhan kalau manusia tidak hidup berdasarkan norma-norma moral. Oleh
sebab itu, seseorang perlu menginternalisasikan nilai-nilai agama agar dapat
menciptakan dan mengamalkan nilai-nilai moral yang otonomi dan religiusitas
yang berfungsi sebagai pengendali suara hati.
4)
Untuk Memuaskan Intelektual yang Ingin Tahu
Intelektual
yang ingin tahu bisa mendapatkan tiga sumber kepuasan yang dapat ditemukan
dalam agama yaitu : a) agama dapat menyajikan pengetahuan rahasia yang
menyelamatkan kejasmanian yang dianggap menghambat dan menghantarkan manusia
kepada pengabdian. b) dengan menyajikan suatu moral maka agama memuaskan
intelektual yang ingin mengetahui apa yang harus dilakukan manusia dalam hidup
agar tercapai tujuannya. c) agama dapat memuaskan keinginan manusia yang
mendalam agar hidup manusia bermakna, sehingga manusia sekurang-kurangnya ikut
menentukan hidup yang dijalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar