A. Sejarah
Teori William Glesser
William Glasser lahir
1925 di Cleveland Ohio. Ia belajar di Case Western Reserve University di
Cleveland mendapatkan gelar Bachelor of Science dan Magister of Art. Dia
menyelesaikan pendidikan Psikiatrinya di UK tahun 1854-1857 (Alllen E. Ivey et
al., 2009).
Ketika pada tahun-tahun
pertamanya sebagai psikiater di Veterans Administration Hospital, Los Anggeles,
Glesser kecewa dengan praktek psikiatri tradisional, dia kecewa dengan metode
perawatan kesehatan mental yang berdasarkan dengan beberapa hal (Alllen E. Ivey
et al., 2009):
a) Ia
frustasi dengan terlalu banyaknya menggunakan praktek Psikoanalisa yang kuno.
Terutama khususnya dalam hal ketidaksadaran dan konflik-konflik individual yang
belum terselesaikan yang dipercaya sebagai pembentuk kepribadian.
b) Glasser
tidak puas dengan tujuan utama untuk klien dalam memunculkan insight klien
terhadap masalah mereka tanpa menempatkan nilai yang seimbang pada kebutuhan
untuk membentuk perilaku baru.
c)
Glasser berfikir bahwa investasi yang
besar pada waktu dan uang untuk pengembangan terapi psikologi tidak terlalu
penting, karena menyebabkan seseorang harus membayar mahal untuk pelayanan
psikiater. Menurut dia lebih baik fokus terhadap pengembangan metode baru dalam
penanganan klien seperti (1) fokus terhadap tantangan klien pada saat ini dan
permasalahan pada masa lalu, (2) fokus terhadap pentingnya menstimulasi
perilaku sebagaimana menstimulasi kemampuan kognitif, dan (3) menguraikan lebih
banyak pemahaman dan metode-metode dalam penanganan psikologis yang bertolak
belakang terhadap metode saat ini, yaitu metode yang banyak menghabiskan waktu
serta teknik-teknik yang kuno.
Glasser
mengembangkan konsep dasar terapi realitasnya pada tahun 1965. Semenjak itu,
dia terus memperbaharui dan memperluas pendekatan konseling dan psikoterapinya.
Pada tahun 1970, Glasser mulai memaknai inti penelitiannya
sebagai kontrol teori.Saat ini, pendekatan konseling
dan terapinya yang berlandaskan pada apa
yang sekarang disebut dengan teori pilihan, yang
mana dia menjelaskan secara lebih rinci dalam bukunya yang juga berjudul sama
yaitu Choice theory (1998). Teori terapi realitas milik Glasser baru-baru
ini telah disempurnakan dalam sebuah
buku yang
berjudul Counseling With Choice Theory:The
New Reality Therapy(Glasser,
2001).
B. Karya-karya
William Glasser
Dalam
buku Alllen E. Ivey et al. (2009) yang berjudul “Theories of Counseling
& Psychotherapy” terdapat beberapa karya dari William Glasser, diantaranya:
·
Reality Therapy (1965)
·
School without Failure (1969)
·
Positive Addiction (1976)
·
The Quality School (1990)
·
Choice Theory : A New Psychology of
Personal Freedom (1998)
·
Counseling with Choice Theory : The New
Reality Therapy (2001)
Secara keseluruhan, Glasser telah
menulis 21 buku, yang terlaris adalah Reality
Theraphy (1965), Schools Without
Failure (1969), Positive Addiction
(1976), dan The Quality School
(1990). Menurut kelompok kami Choice Theory: A New Psychology of Personal Freedom merupakan karya Glasser yang paling baik. Karena
karya ini merupakan pengembangan konstruk dasar dari metode dan teori terapi
realitas, yang mana Glasser membedakan karakteristik dari “External World dan
Internal World” dalam pikiran.
C. Teori
dan Teknik William Glesser
1. Basic
Philosophy
Terapi
realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku saat ini.
Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasi klien dengan
cara-cara yang bisa membantu klien
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan
dirinya sendiri ataupun orang lain (Corey, 2005). Inti terapi relitas adalah
penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental.
Glasser mengembangkan terapi realitas dari keyakinannya bahwa psikiatri
konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi
realitas, yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang
untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “identitas keberhasilan” (Corey,
2005).
Berdasarkan
choice theory, pendekatan ini
berasumsi bahwa manusia membutuhkan kualitas hubungan untuk mendapatkan
kebahagiaan. Masalah psikologis merupakan hasil dari penolakan kita atas
kontrol dari orang lain atau upaya kita untuk mengrontrol orang lain. “Choice
theory” merupakan penjelasan tentang sifat dasar manusia dan cara terbaik untuk
mencapai hubungan interpersonal yang memuaskan (Corey, 2009).
2. Konsep
Penting
·
Terapi realitas membantu klien memenuhi
kebutuha-kebutuhan psikologisnya, termasuk kebutuhan untuk mencintai dan
dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa diri klien bermanfaat bagi diri
sendiri ataupun orang lain (Corey, 2005).
·
Tiap orang mempunyai kemampuan yang
potensial untuk tumbuh dan berkembang ke arah kesehatan.
·
Menekankan tanggung jawab dan menjalin
hubungan interpersonal. Glasser (1965) dalam Corey (2005) mendefinisikan bahwa
tanggung jawab adalahkemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan
melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka.
·
Menolak konsep tentang penyakit mental, terapi
realitas berasumsi bahwa gangguan tingkah laku merupakan akibat dari
ketidakbertanggungjawaban.
·
Berfokus pada saat sekarang, bukan pada
masa lalu.
·
Tidak menekankan transferensi, terapi
realitas menyatakan agar para terapis
menjadi diri sendiri, bukan memainkan peran sebagai ayah atau ibu klien.
·
Menekankan aspek kesadaran, bukan aspek
ketidaksadaran.
3.
Tujuan Terapi
Sama
dengan kebanyakan sistem psikoterapi, tujuan umum terapi realitas adalah membantu seseorang
untuk mencapai otonomi, maksudnya otonomi yaitu kematangan yang diperlukan bagi
kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan
internal (Corey, 2005). Kematangan ini menyiaratkan bahwa orang-orang mampu
bertangguang jawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta mengembangkan rencana-rencana yang
bertanggung jawab dan realitas guna mencapai tujuan-tujuan mereka. Terapi
realitas membantu orang-orang dalam menentukan dan memperjelas tujuan mereka. Selanjutnya ia
membantu mereka dalam menjelskan cara-cara mereka menghambat kemajuan kea rah
tujuan-tujuan yang ditentukan oleh mereka sendiri. Terapis membantu klien
menemukan alternatif-alternatif dalam mencapai tujuan-tujuan tetapi klien
sendiri yang menetapkan tujuan-tujuan terapi.
Glasser
dan Zunin (1973) sepakat bahwa terapis
harus memiliki tujuan- tujuan tertentu bagi klien dalam pikirannya. Akan
tetapi, tujuan-tujuan itu harus diungkapkan dari segi konsep tanggung jawab individual alih alih dari segi tujuan- tujuan behavioral
karna klien harus menentukan tujuan-tujuan itu bagi diri sendiri. Mereka
menekankan bahwa kriteria psikoterapi yang berhasil sangat bergantung pada
tujuan-tujuan yang ditentukan oleh klien. Meskipun tidak ada kriteria yang kaku yang pencapaianya menandai
selesainya terapi, kriteria umum mengenai pencapaian tingkahlaku yang bertanggung
jawab dan pemenuhan tujuan-tujuan klien menunjukkan bahwa klien mampu
melaksanakan rencana-rencananya secara mandiri dan tidak perlu lagi di beri treatment. (Corey,2005, hlm. 119)
4. Terapeutik
Relationship
a)
Fungsi
dan Peran Terapis
Tugas dasar terapis adalah melibatkan diri
dengan klien dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan. Glasser dalam Corey
(2005) merasa bahwa, ketika terapis menghadapi para klien, dia memaksa mereka
itu untuk memutuskan pakah mereka akan atau tidak akan menempuh “ jalan yang
bertanggung jawab”. Terapis tidak membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan
putusan-putusan bagi para klien,sebab tindakan demikian akan menyingkirkan
tanggung jawab yang mereka miliki. Tugas terapis adalah bertindak sebagai
pembimbing yang membantu klien agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara
realistis. Fungsi penting dari terapis realitas adalah memasang batas-batas,
mencakup batas-batas dalam situasi teraupetik dan batas-batas yang ditempatkan
oleh kehidupan seseorang.
b)
Pengalaman Klien dalam Terapi
Para klien diharapkan berfokus kepada tingkah
laku mereka sekarang alih-alih kepada perasaan-perasaan dan sikap-sikap mereka.
Setelah para klien membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya sendiri
serta memutuskan mereka ingin berubah, mereka diharapkan membuat rencana-rencana
yang spesifik guna mengubah tingkah laku yang gagal menjadi tingkah laku yang
berhasil. Klien harus membuat komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana ini.
c)
Hubungan
antara Terapis dan Klien
Terapi realitas berlandaskan hubungan atau
keterlibatan pribadi antara terapis dan klien. Terapis, dengan kehangatan,
pengertian, penerimaan, dan kepercayaan mengembangkan suatu identitas
keberhasilan dan menolak penyalahan dan dalih-dalih dari klien. Perencanaan
adalah hal yang essensial dalam terapi realitas. Setelah rencana dibuat
realistis dan ada dalam batas kesanggupan dan motivasi klien. Rencana tersebut
harus dijalankan dengan komitmen oleh klien serta tidak menyalahkan diluar diri
klien apablia rencana tidak berhasil.
5.
Technique of Therapy
Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi
yang aktif secara verbal. Prosedur-prosedurnya difokuskan pada
kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah
lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam
membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa
menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
1) Terlibat dalam permainan peran
dengan klien
2) Menggunakan humor
3) Mengonfrontasikan klien dan menolak
dalih apapun
4) Membantu klien dalam merumuskan
rencana-rencana yang spesifik
5) Bertindak sebagai model dan guru
6) Memasang batas-batas dan menyusun
situasi terapi
7) Menggunakan “terapi kejutan verbal”
atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya
yang tidak realistis; dan
8)
Melibatkan
diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupannya yang lebih efektif.
Terapi realitas tidak memasukkan
sejumlah teknik yang secara umum diterima oleh pendekatan-pendekatan terapi
lain. Para psikiater yang mempraktekkan terapi realitas tidak menggunakan
obat-obatan dan medikasi-medikasi konservatif, sebab medikasi cenderung menyingkirkan
tanggung jawab pribadi. Selain itu, para pempraktek terapi realitas tidak
menghabiskan waktunya untuk bertindak “sebagai detektif” mencari alasan-alasan,
terapi berusaha membangun kerja sama dengan para klien untuk membantu mereka
dalam mencapai tujuan-tujuannya. Teknik-teknik diagnostik tidak menjadi bagian
dari terapi realitas, sebab diagnosis dianggap membuang waktu dan lebih buruk
lagi, merusaak klien dengan menyematkan label (seperti “skizoprenik”) pada
klien yang cenderung mengekalkan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan
gagal. Teknik-teknik lain yang tidak digunakan adalah penafsiran, pemahaman,
wawancara-wawancara nondirektif, sikap diam yang berkepanjangan, asosiasi
bebas, analisis transferensi dan resistensi, dan analisis mimpi.
6.
Aplikasi Teori dan Teknik William
Glesser
Glesser dan Zulnin (1973, hlm, 307) percaya
bahwa teknik-teknik terapi realitas bisa diterapkan pada lingkup masalah
behavioral dan emosional yang luas. Mereka menyatakan bahwa prosedur-prosedur
terapi realitas telah digunakan dengan berhasil pada penanganan masalah
individu yang spesifik seperti kecemasan, maladjusment, dan konflik-konflik
perkawinan.Terapi realitas cocok untuk digunakan dalam terapi individual,
kelompok dan konseling perkawinan.
Konselor berperan sebagai guru yang
membantu konseli untuk menilai kembali tingkah lakunya dari sudut bertindak
secara bertanggung jawab. Proses konseling bagi klien menjadi pengalaman
belajar untuk menilai diri sendiri dan perlu menggantikan tingkah laku yang
keliru dengan tingkah laku yang tepat. Jika konseli ingin bahagia dalam
kehidupannya, dia harus menjadi orang yang bersikap dan bertindak penuh
tanggung jawab di tengah-tengah medan hidupnya. (W.S. Winkle & M.M. Sri
Hastuti, 2004)
7.
Kontribusi Terapi Realitas William Glasser
Terapi realitas berfokus pada klien
dalam membuat evaluasi perilaku mereka sendiri (termasuk bagaimana mereka
menanggapi budaya mereka). Melalui penilaian pribadi, klien dapat menentukan
sejauh mana kebutuhan dan keinginan mereka dapat terpenuhi. Mereka dapat
menemukan keseimbangan antara mempertahankan identitas etnik mereka sendiri dan
mengintegrasikan beberapa nilai-nilai yang dominan dan praktek-praktek yang di
peroleh dari masyarakat (Corey, 2009).
Banyak keuntungan yang didapatkan dari
terapi realitas diantaranya adalah terapi realitas berfokus pada jangka pendek
dan juga menekankan pada aspek-aspek kesadaran, bukan pada aspek-aspek
ketidaksadaran. Terapi realitas menekankan kekeliruan yang di lakukan oleh
klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak mendapatkan apa
yang ia inginkan. Contoh salah satu yang banyak menggunakan terapi realitas
adalah pada orang-orang yang kecanduan, terapi realitastelah
efektif digunakan dalam
pengobatan kecanduan
dan program
pemulihan selama
lebih dari 30tahun. (Corey, 2009)
Selain itu terapi realitas dapat
diterapkan pada situasi-situasi konseling dan juga pada penerapan-penerapan di
sekolah. Glasser dan Zunin (1973) dalam Corey (2005) menyatakan bahwa
prosedur-prosedur terapi realitas telah di gunakan dengan berhasil pada
penanganan masalah-masalah individu yang spesifik seperti masalah kecemasan,
maladjustment, konflik-konflik perkawinan, pervesi dan psikosis. Dan juga
terapi realitas memiliki implikasi langsung bagi situasi-situasi di sekolah.
Glasser percaya bahwa pendidikan bisa menjadi kunci bagi pergaulan manusia yang
efektif.
8.
Keterbatasan Terapi Realitas
Salah satu keterbatasan utama dari terapi
realitas adalah terapi ini tidak memberikan penekanan yang cukup pada peran aspek-aspekdari
proses konseling seperti, peran wawasan, ketidaksadaran, kekuatan dari
masa lalu dan pengaruh pengalaman traumatis pada masa kanak,
nilai terapeutik pada mimpi,
dan tempat untuk transferensi.
Karena terapi realitas berfokus semata-mata pada kesadaran manusia, tidak memperhitungkan
faktor-faktor seperti penekanan pada konflik dan kekuatan dari ketidaksadaran
yang mempengaruhi bagaiman kita berpikir, merasakan, bertingkah laku, dan
memutuskan (Corey,2009).
Mimpi merupakan aspek yang tidak digunakan
dalam terapi realitas. Menurut Glasser, terapi dengan menyelidiki mimpi klien
itu tidak berguna. Menurutnya, menghabiskan waktu untuk mendiskusikan mimpi
akan membuat pertahanan yang digunakanuntuk menghindari pembicaraantentang
perilakuseseorang dan demikian, waktu menjadi terbuang. Menurut perspektif dari
penulis, mimpi merupakan sarana yang kuat dalam mengetahui internal konflik
klien. Penulis percaya bahwa ada banyak kekayaan di dalam mimpi, seperti
terapis dapat melihat gambaran singkat dari kerja keras klien, keinginannya,
harapan-harapanya, dan pandangan ia di masa yang akan datang. (Corey,2009)
Referensi
Corey, Gerald. Teori dan Praktek Konseling dan
Psikoterapi.
Refika Aditama. Bandung. 2005
Ivey,
Allen E. et al.Theories of Counseling & Psychotherapy. Pearson. New
York. 2009
Corey,
Gerald. Theory and Practice of Counseling
and Psychotherapy. Thomson. USA. 2009
Winkel,
W.S. dkk. Bimbingan dan Konseling.
Media Abadi. Yogyakarta. 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar